Bagi warga Semarang maupun orang yang pernah tinggal di kota Semarang sudah tak asing dengan istilah “ kreak” yang kerap kali dilontarkan kepada pemuda yang memiliki kelakuan buruk di kampung.
Istilah “kreak” berkembang pesat pada masa kontemporer. Arti dari kata kreak ini sendiri adalah sekelompok maupun seorang pemuda yang ingin berpenampilan modern namun malah terkesan norak.
Orang- orang ini dinilai berusaha keras menyamai penampilan orang- orang di kota besar dengan fashion nya yang terkesan tak lazim atau nyeleneh di kalangan masyarakat. Seperti perpaduan warna yang tidak cocok, mencolok, atau tipe dan model pakaian yang tidak padu padan. Cat rambut atau gaya rambut yang tidak sesuai dengan warna kulit maupun bentuk wajah.
Kata kreak identik dengan diskriminasi dan stigma negatif kepada seseorang, namun istilah ini terlanjur tertanam dalam benak masyarakat sehingga sulit untuk dihapus. Istilah ini berkembang pesat di Semarang, dan kawasan sekitar seperti Kendal, Ungaran bahkan Salatiga.
Dilansir dari radar semarang, istilah kreak terdiri dari dua kata, yakni “Kere” yang merujuk pada kondisi ekonomi lemah atau miskin, dan “Mayak” yang berasal dari bahasa Jawa Timuran yang berarti sok-sokan atau belagu yang dalam bahasa Semarangannya dikenal dengan istilah kemaki.
Istilah ini juga bergeser untuk menyebut sekelompok remaja tanggung yang terafiliasi dengan gangster, sekelompok anak muda yang gemar tawuran antar kelompok.
Tak beda dengan klithih yang ada di Jogja, para kreak di Semarang pun sama- sama memiliki kultur kekerasan, gemar beradu ilmu parang maupun lempar batu hanya demi kepuasan diri dan pengakuan teman satu kelompok, tak sedikit yang terluka maupun tewas akibat ulah mereka yang saling serang pada jam jam dini hari.
Stigma buruk dalam istilah ini cukup membuat miris, pasalnya remaja tanggung yang seharusnya menjadi salah satu pilar kemajuan bangsa, kini cacat secara mental, adab yang semestinya baik tak tercermin dari para kreak, onar adalah hobi yang membanggakan bagi mereka, sedang orang tua yang tidak tahu menahu harus menelan pil pahit saat mengetahui perilaku anak anak yang mereka besarkan dengan penuh kasih dan tanggungjawab berakhir di balik jeruji besi, terluka bahkan meninggal.